BERITAJELAS

Live Berita Jelas Paling Update Setiap Hari Di Indonesia

Indonesia Kena Tarif Impor 32% dari Trump, Bagaimana Nasib Sawit RI?

Jakarta, BeritajelasKebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kini mulai menunjukkan dampak negatif bagi Indonesia. Salah satu yang paling terpengaruh adalah industri minyak sawit, yang akan dikenakan bea masuk sebesar 32% untuk produk ekspor, termasuk CPO (Crude Palm Oil). Para petani dan pelaku industri sawit di dalam negeri pun mulai khawatir akan dampak kebijakan ini, khususnya terhadap stabilitas harga dan penyerapan tandan buah segar (TBS) dari petani.

Mansuetus Darto, Ketua Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyebutkan bahwa kebijakan tarif ini lebih dari sekadar proteksi ekonomi. Ia percaya bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih kompleks, yang berkaitan dengan kepatuhan negara-negara pengeskpor terhadap regulasi dan jejak produksi (traceability).

Isu Kepatuhan Hukum dan Kualitas Produk

Darto menambahkan, ada banyak negara pengekspor barang ke AS yang dianggap melanggar beberapa aturan, sehingga mereka dikenakan tarif tinggi. Ia mengungkapkan, “Jika ini terus berlanjut, kita perlu mempertanyakan kualitas kepatuhan hukum terhadap barang-barang kita yang masuk ke Amerika, mengingat tarif 32% yang dikenakan pada produk kita,” ujarnya dalam wawancara dengan Beritajelas pada Jumat (4/4/2025).

Penurunan Ekspor CPO ke AS

Berdasarkan data SPKS, ekspor CPO Indonesia ke AS pada tahun 2024 tercatat mencapai 1,4 juta ton. Namun, pada Januari 2025, ekspor sudah mengalami penurunan sebesar 20% dibandingkan dengan Januari tahun sebelumnya, meskipun kebijakan tarif baru masih sebatas rumor.

Seiring dengan kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump, Darto juga menyoroti dampak lebih besar yang bisa terjadi pada Indonesia. Ia mengingatkan bahwa pada saat krisis finansial global yang dipicu oleh kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008, harga sawit sempat anjlok hingga Rp100 per kilogram (kg), yang berdampak sangat buruk pada kehidupan petani. “Anak-anak petani putus kuliah, makan dengan raskin, ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa. Jadi, kalau AS terguncang, kita juga akan kena,” kenangnya.

Pungutan Ekspor dan Tarif Bea Keluar Tambah Membebani

Selain dampak dari kebijakan tarif AS, Indonesia juga memberlakukan tarif ekspor, seperti Pungutan Ekspor (PE) dan tarif Bea Keluar (BK) sawit sebesar US$ 170 per metrik ton. Darto menilai kebijakan ini semakin membebani petani dan pelaku industri sawit, terutama di tengah pasar global yang semakin terbatas.

“Boleh saja kita dorong Biodiesel 40%, tetapi harga jual CPO di luar negeri masih bagus. Namun, jika pasar ekspor semakin sempit dan pasar domestik belum siap, dampaknya bisa langsung dirasakan oleh petani,” jelas Darto.

Efisiensi Tidak Cukup, TBS Bisa Terjun Bebas

Darto juga mengingatkan bahwa kebijakan efisiensi seperti mengurangi penggunaan pupuk, jam kerja, dan herbisida tidak akan memberikan solusi jangka panjang. Hal ini justru bisa menyebabkan penurunan produksi, yang pada akhirnya merugikan para pelaku industri itu sendiri.

“Yang paling dikhawatirkan adalah jika perusahaan sawit mulai membatasi atau menolak pembelian TBS dari petani swadaya. Jika mereka hanya membeli minyak sawit dari pabrik tanpa kebun sendiri dan membeli TBS dengan harga minimal, ini bisa berakibat fatal bagi petani,” tegas Darto.

Solusi: Lobi Pasar Baru dan Penyesuaian dengan Standar Global

Menurut Darto, Indonesia tidak bisa hanya pasrah. Pemerintah harus aktif melobi pasar baru dan menyesuaikan diri dengan standar keberlanjutan global, seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang akan berlaku mulai 2026. Ia juga mendesak pemerintah untuk menurunkan tarif PE dan BK, serta memperkuat kepastian hukum untuk menciptakan iklim usaha yang sehat.

“Solusinya adalah tantang Uni Eropa, wajibkan compliance, tetapi juga bangun petani kita. Selain itu, kita perlu badan sawit nasional yang independen, bukan seperti Danantara yang dikangkangi,” kata Darto.

Regulasi Sektor Sawit Perlu Dibenahi

Darto menekankan pentingnya pembenahan regulasi dan tata kelola sektor sawit di dalam negeri. Hal ini tidak hanya untuk menghindari potensi korupsi, tetapi juga untuk mempercepat pengambilan keputusan strategis yang diperlukan.

“Sebagian besar kementerian yang mengurus sawit tumpang tindih, harus ada pemangkasan supaya lebih efektif. Ini penting untuk masa depan industri sawit Indonesia,” pungkas Darto.